Langkah Pertama Menuju Tambak Berkelanjutan: Tim KONEKSI–SMACA Selesaikan Fieldwork Perdana di Berau
Berau, Kalimantan Timur — 18–21 Agustus 2025. Langit cerah menyambut langkah awal kolaborasi riset internasional yang ingin mengubah cara Indonesia membudidayakan udang. Proyek Sustainable Mangrove Aquaculture Carbon (SMACA), bagian dari program KONEKSI, baru saja menyelesaikan kegiatan lapangan perdananya di Berau. Inisiatif ini menjadi tonggak penting menuju tambak udang yang lebih ramah lingkungan dimana tambak yang tak hanya menghasilkan panen, tapi juga memulihkan mangrove dan menyimpan karbon biru.
Dipimpin oleh Monash University, Institut Teknologi Bandung (ITB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), proyek ini menyatukan ilmuwan, pegiat konservasi, dan masyarakat pesisir untuk merancang sistem tambak yang menyeimbangkan antara ekonomi dan ekologi.
“Kolaborasi ini menjembatani ilmu pengetahuan dengan praktik masyarakat,” ujar Isnan Fauzi, koordinator proyek dari ITB. “Kami ingin menunjukkan bahwa budidaya udang dan konservasi mangrove dapat berjalan berdampingan.”
Dokumentasi Pusat Perubahan Iklim 2025
Menjajaki Tambak dan Mangrove di Berau
Selama empat hari kegiatan, tim peneliti meninjau tiga tambak udang di Desa Pegat Batumbuk, milik petambak Suaib, Asri, dan Hasnawi. Ketiga lokasi ini akan menjadi tambak percontohan (demonstration ponds) bagi model akuakultur terpadu yang menyeimbangkan produktivitas udang dengan upaya restorasi mangrove.
Tim dari ITB, BRIN, dan YKAN melakukan serangkaian kajian teknis untuk memahami kondisi ekologi dan hidrologi kawasan tersebut.
-
Pengukuran hidrodinamika dilakukan untuk mempelajari pola pasang surut, pertukaran air, dan sirkulasi. aspek penting guna memastikan kadar oksigen dan kualitas air yang optimal dalam desain tambak ke depan.
-
Pemeriksaan kualitas air meliputi parameter pH, salinitas, oksigen terlarut, dan suhu, yang akan menjadi data dasar untuk pemodelan dan kalibrasi selanjutnya.
-
Pemetaan vegetasi menunjukkan bahwa sebagian besar area restorasi masih berada pada tahap pertumbuhan awal, dengan semaian mangrove muda di antara padatnya tumbuhan Nypa fruticans, menandakan perlunya peningkatan seleksi lokasi dan kepadatan tanam.
-
Observasi mikroklimat dilakukan untuk menentukan titik potensial pemasangan Automatic Weather Station (AWS) yang akan memantau curah hujan dan suhu, meskipun keterbatasan sinyal masih menjadi tantangan untuk transmisi data secara real time.
Meski menghadapi kendala logistik, termasuk perjalanan sungai hampir dua jam menuju lokasi tambak. Kegiatan ini memberikan wawasan langsung mengenai ekosistem estuari Berau yang dinamis, tempat mangrove, tambak, dan mata pencaharian masyarakat saling berinteraksi.
Dokumentasi Pusat Perubahan Iklim 2025
Dokumentasi Pusat Perubahan Iklim 2025
Mendengar Suara Masyarakat
Keterlibatan masyarakat menjadi bagian utama dari kegiatan ini. Tim peneliti berdialog dengan para pemilik tambak dan warga setempat untuk menggali pengalaman mereka dalam mengelola sistem udang dan mangrove.
Melalui Diskusi Kelompok Terarah (FGD) yang melibatkan 30 warga, terdiri atas 20 laki-laki dan 10 perempuan. Tim memperoleh beragam pandangan tentang restorasi mangrove dan praktik akuakultur. Para petambak menekankan manfaat mangrove dalam melindungi tambak dari gelombang dan meningkatkan hasil udang, namun juga menyebutkan tantangan seperti penumpukan daun dan gangguan predator seperti berang-berang.
Para perempuan turut berbagi peran penting mereka yang sering luput dari perhatian, mulai dari pembersihan peralatan hingga pengolahan hasil seperti terasi dan kerupuk ikan. Untuk memastikan keterlibatan yang adil dan etis, Dr. Sepanie Putiamini dari BRIN memimpin pelatihan singkat tentang pengumpulan data sosial yang etis serta pendekatan sensitif gender, agar kegiatan lapangan selanjutnya benar-benar menghargai suara masyarakat.
Hasil FGD menunjukkan variasi pandangan mengenai rasio ideal antara tambak dan mangrove: sekitar 40% peserta memilih rasio 75:25, sementara sebagian lainnya lebih menyukai 50:50, menegaskan perlunya keseimbangan antara restorasi ekologi dan kebutuhan ekonomi.
“Peran perempuan dalam akuakultur perlu lebih terlihat,” ujar Dr. Putiamini, penanggung jawab aspek gender dan inklusi sosial. “Riset yang inklusif memastikan solusi yang dihasilkan bermanfaat bagi semua, bukan hanya bagi pihak yang dominan dalam rantai nilai.”
Dokumentasi Pusat Perubahan Iklim 2025
Perpaduan Ilmu dengan Keberlanjutan Lingkungan
Selain kegiatan sosial, tim juga menyiapkan dasar untuk riset interdisipliner dan pemodelan data.
-
Peneliti ITB Isnan Fauzi dan Fitriyanto akan memproses data hidrodinamika dan kualitas air untuk memodelkan interaksi antara tambak dan mangrove, terutama terkait pengaruh pasang surut terhadap produktivitas dan keseimbangan salinitas.
-
Dr. Devi Choesin (ITB) akan menganalisis vegetasi serta mengembangkan protokol pemantauan untuk restorasi mangrove dan penilaian karbon biru, bekerja sama dengan Dr. Benjamin Thompson dari Monash University dalam mengukur potensi penyerapan karbon dari lokasi yang direstorasi.
-
Dari BRIN, Dr. Tarunamulia akan menyempurnakan rekomendasi manajemen akuakultur, termasuk perbaikan kondisi tanah dan keseimbangan nutrien, serta berkolaborasi dengan Dr. Vanessa Wong (Monash) untuk menilai risiko tanah sulfat masam (Acid Sulfate Soil/ASS).
-
Dr. Fiolenta Marpaung (BRIN) akan merencanakan instalasi AWS serta mengevaluasi solusi konektivitas untuk pengumpulan data jarak jauh.
-
Dari YKAN, koordinator lapangan Mukmin akan memimpin pemantauan lanjutan di lokasi, memantau pertumbuhan vegetasi dan menjembatani komunikasi antara peneliti dan masyarakat.
Upaya terpadu ini akan menjadi dasar dalam perancangan tambak percontohan SMACA, memastikan bahwa aspek teknis, ekologi, dan sosial berjalan seiring.
Menuju Model yang Dapat Diterapkan Secara Luas
Kegiatan lapangan di Berau menandai langkah awal menuju model Sustainable Mangrove Aquaculture Carbon (SMACA) yang dapat direplikasi di berbagai wilayah pesisir Indonesia. Tahap berikutnya akan berfokus pada penyempurnaan desain tambak, penetapan titik pemantauan jangka panjang, serta peningkatan kapasitas bagi fasilitator dan petambak lokal.
Temuan dari Berau juga akan menjadi landasan ilmiah bagi rekomendasi kebijakan dan pengembangan praktik serupa di wilayah pesisir lainnya di Indonesia.
“Apa yang kami pelajari di Berau akan menjadi blueprint untuk akuakultur cerdas-iklim di seluruh Indonesia,” kata Dr. Tarunamulia dari BRIN. “Ini bukan sekadar tentang tambak, ini tentang membangun ketahanan bagi manusia dan ekosistem.”
Dengan perpaduan ilmu pengetahuan, kearifan lokal, dan kolaborasi inklusif, proyek SMACA menegaskan langkah nyata menuju masa depan di mana tambak udang dan hutan mangrove tumbuh bersama, menjadikan riset sebagai solusi nyata untuk keberlanjutan pesisir.
Penulis: Isnan Fauzi
Editor: Yonatan Kurniawan
CCC ITB