Road to COP30: Nilai Ekonomi Karbon dan Pasar Karbon Jadi Sorotan: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia
Jakarta, 22 Oktober 2025- Sesi keempat dalam rangkaian diskusi mengenai perubahan iklim membahas tema “Nilai Ekonomi Karbon dan Pasar Karbon di Indonesia”. Kegiatan ini dimoderatori oleh Rosita Suroso, dengan menghadirkan tiga narasumber: Rizky Wibisono dari World Resources Institute (WRI), Via Azalia Widiyadi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dan Natalia Rialucky Marsudi dari Farratmos.
Diskusi diawali dengan paparan Rizky Wibisono mengenai pentingnya penerapan nilai ekonomi karbon (NEK) dan mekanisme pasar karbon di Indonesia. Ia mencontohkan keberhasilan pendekatan command and control yang diterapkan Tiongkok untuk mengatasi polusi udara pada periode 2000–2010. Meskipun efektif, pendekatan tersebut sangat mahal.
Sebaliknya, Amerika Serikat menggunakan sistem cap and trade untuk mengendalikan polusi air, dengan menetapkan batas emisi total dan memberikan izin emisi kepada perusahaan. Perusahaan yang mampu menekan emisinya di bawah batas dapat menjual kelebihannya kepada perusahaan lain. “Model ini memberikan insentif ekonomi bagi pelaku usaha untuk berinovasi dalam mengurangi emisi,” ujar Rizky. Ia menegaskan, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan serupa melalui NEK dan carbon pricing, karena dunia usaha umumnya lebih peka terhadap insentif biaya dibanding sekadar aturan.
Menanggapi hal tersebut, Via Azalia Widiyadi menyatakan bahwa carbon pricing merupakan instrumen efektif untuk transisi menuju ekonomi rendah emisi. “Instrumen ini menginternalisasi eksternalitas, sehingga kegiatan ekonomi mencerminkan biaya lingkungan yang ditimbulkan,” jelasnya. Ia menambahkan, penerapan carbon pricing juga memperkuat posisi Indonesia di kancah global, karena banyak negara kini mengaitkan pembangunan dengan target emisi. “Hal ini sekaligus mempermudah bisnis Indonesia yang berinteraksi dengan pasar internasional,” lanjut Via.
Sementara itu, Natalia Rialucky Marsudi dari Farratmos memaparkan kondisi kesiapan pelaku usaha di lapangan. Ia menjelaskan bahwa terdapat dua tipe pasar karbon: pasar compliance (yang diatur pemerintah) dan pasar voluntary. “Sektor energi relatif siap karena sudah memiliki regulasi dan transaksi yang mulai berjalan. Namun, di sektor lain, terutama yang tidak banyak berhubungan dengan pasar internasional, kesadaran masih terfragmentasi,” jelasnya. Di sektor kehutanan, ia melihat NEK sebagai peluang bisnis berkelanjutan, meski masih ada kesenjangan teknis dan modal.
Moderator kemudian menyoroti tantangan di tingkat tapak, di mana masyarakat sekitar hutan seringkali lebih memprioritaskan usaha dengan hasil langsung ketimbang kegiatan penurunan emisi. Menanggapi hal ini, Via menjelaskan bahwa di tingkat komunitas, pemahaman terhadap manfaat ekonomi dari karbon masih rendah. “Mereka belum melihat manfaat nyata dari menanam pohon, berbeda dengan pertanian yang hasilnya langsung terlihat,” ujarnya. Ia menekankan bahwa proyek seperti REDD+ seharusnya memberikan manfaat langsung kepada masyarakat lokal dan adat melalui mekanisme pembagian manfaat yang adil.
Rizky dari WRI kemudian menjelaskan perkembangan regulasi nasional. Menurutnya, Peraturan Presiden Nomor 110 merupakan langkah maju karena untuk pertama kalinya menetapkan batas total emisi nasional. “Sebelumnya, target penurunan emisi sudah ada di NDC, tapi tanpa batas total yang jelas. Sekarang sudah bisa diselaraskan dengan mekanisme carbon pricing,” katanya. Namun, ia menekankan perlunya pembangunan kapasitas, pendanaan, dan pengetahuan agar NEK dapat diterapkan secara efektif.
Diskusi juga menyinggung pentingnya teknologi dalam sistem Monitoring, Reporting, and Verification (MRV). Natalia Rialucky menjelaskan bahwa transparansi dan kualitas data menjadi kunci kredibilitas pasar karbon. “Kita berurusan dengan sesuatu yang tidak kasat mata, sehingga bukti ilmiah sangat penting,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa setiap sektor memiliki metode berbeda dalam menghitung penyerapan karbon. Di sektor energi, perhitungan didasarkan pada output energi dan koefisien emisi, sementara di sektor kehutanan tantangannya lebih kompleks karena melibatkan faktor alam seperti jenis vegetasi dan gangguan hama.
Teknologi seperti satelit, LiDAR, dan drone kini banyak digunakan untuk memastikan akurasi dan keberlanjutan data. “Penanganan mangrove, misalnya, punya tingkat penyerapan karbon tinggi tapi juga biaya perawatan besar. Aspek-aspek seperti ini seharusnya tercermin dalam harga karbon yang dibayar oleh pembeli,” jelasnya.
Menanggapi pertanyaan tentang kesiapan lembaga dalam pelaksanaan MRV, Via menyebut bahwa sistem di Indonesia saat ini masih terpusat pada Sistem Registri Nasional (SRN), dengan perbedaan signifikan antara sektor kehutanan dan energi. Ia menekankan pentingnya harmonisasi dengan standar global agar kredibilitas pasar karbon Indonesia diakui secara internasional. Selain itu, pengelolaan pendapatan karbon juga perlu kejelasan. “Kelembagaan menjadi isu penting. Perpres 110 sudah menetapkan komite, tapi peran lembaga-lembaga pelaksana masih belum diatur secara detail,” ujarnya.
Menutup diskusi, para narasumber sepakat bahwa pemerintah telah menunjukkan kemajuan dengan regulasi yang lebih jelas, termasuk pengaturan pasar sukarela. Namun, transaksi pasar karbon di Indonesia masih rendah dan belum menarik minat luas dari sektor swasta. Rialucky menegaskan bahwa dengan momentum menuju COP di Brasil yang bertema hutan, Indonesia sebagai negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia—perlu memanfaatkan peluang ini. “Kita harus looking forward terhadap hasil COP ini dan memastikan bahwa Indonesia mengambil peran penting dalam pasar karbon global,” tutupnya.
Penulis : Yonatan Kurniawan
CCC ITB