Menuju COP30: Transisi Berkeadilan dari Sektor Energi Indonesia: Dari Kebijakan hingga Keadilan Sosial

Keterangan Gambar : Dokumentasi Pusat Perubahan Ikllim ITB 2025


Jakarta, 22 Oktober 2025 – Isu Just Transition atau transisi berkeadilan menjadi sorotan utama dalam sesi ketiga bertajuk “Transisi Berkeadilan dari Sektor Energi Indonesia”. Sesi ini dimoderatori oleh Syahrani dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dan menghadirkan tiga narasumber utama: Tubagus Nugraha dari Dewan Energi Nasional (DEN), Wira Swadana dari WRI Indonesia, dan Grita Anindarini dari ICEL.

Dalam pengantarnya, Syahrani menegaskan bahwa Just Transition kini diakui secara global sebagai salah satu kunci utama dalam penanganan krisis iklim, dan telah menjadi pembahasan di tingkat internasional termasuk di forum UNFCCC. “Isu transisi berkeadilan ini sangat relevan bagi Indonesia, sebagai salah satu produsen batu bara terbesar dan pengguna utama energi berbasis batu bara,” ujarnya.

Kerangka Kebijakan dan Standar dalam Transisi Energi

Dalam paparannya, Tubagus Nugraha menekankan bahwa tata kelola Just Transition hanya dapat berjalan apabila memiliki dasar kebijakan yang kuat di tingkat nasional, seperti dalam kerangka Nationally Determined Contribution (NDC).

“Pertanyaannya adalah, apakah peraturan yang ada sudah cukup untuk memitigasi dampak dari kegiatan transisi energi, atau kita perlu menyusun peraturan baru?” ungkapnya.

Tubagus juga menyinggung adanya sembilan standar yang sedang dikaji, termasuk standar terkait diversifikasi ekonomi di daerah tambang. Ia mencontohkan bahwa ketika penambangan batu bara berkurang, daerah harus menyiapkan strategi diversifikasi pendapatan asli daerah (PAD).

“Yang penting dilakukan adalah menghitung baseline: berapa banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan dan berapa yang bisa terserap oleh lapangan kerja baru di sektor hijau (green jobs),” jelasnya. Ia juga menekankan bahwa Just Transition Framework (JTF) perlu segera dijalankan agar ruang pertumbuhan ekonomi tetap terbuka.

Keadilan Sosial dan Isu Gender dalam Transisi Energi

Sementara itu, Grita Anindarini menyoroti bahwa kerangka kebijakan transisi berkeadilan di Indonesia masih bersifat tersebar (scattered). Ia mempertanyakan perlunya kerangka yang lebih terintegrasi untuk memastikan implementasi yang efektif.

“Keadilan berarti kita mengakui siapa yang rentan, melibatkan mereka, mendistribusikan manfaat secara setara, serta memberikan pemulihan atas dampak yang sudah terjadi. Ke depan, kita harus bisa mencegah agar dampak serupa tidak terulang,” ujarnya.

Grita memaparkan hasil riset ICEL di tiga PLTU yang menunjukkan belum adanya pendataan pekerja yang memadai, terutama di sektor informal. “Banyak pekerja di sektor ini tidak memiliki jaminan sosial dan bekerja tanpa kepastian status, sehingga proteksi terhadap mereka sangat terbatas,” jelasnya.

Ia juga menyoroti pentingnya integrasi isu gender dalam penilaian dampak proyek energi. “Setiap proyek memiliki dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Karena itu, AMDAL harus memastikan isu gender menjadi bagian dari proses penilaian,” tegasnya.

Spektrum Luas Transisi Energi dan Tantangan Teknis

Wira Swadana dari WRI Indonesia menyoroti pentingnya memastikan penerapan prinsip Just Transition dalam kebijakan yang lebih teknis. Menurutnya, transisi energi di Indonesia tidak hanya terjadi di subsektor ketenagalistrikan, tetapi juga mencakup transportasi, industri, dan bangunan.

“Isu transisi energi sangat kompleks dan luas, tidak bisa hanya berbicara soal batu bara. Contohnya, dalam pergeseran ke kendaraan listrik (EV), belum ada yang mengkaji aspek keadilan dari sisi transportasi,” ungkapnya.

Wira juga menekankan bahwa kebijakan transisi harus melihat aspek ekonomi dan sosial secara bersamaan. “Kita tidak hanya berbicara tentang transisi ekonomi, tapi juga keadilan yang lebih luas — seperti bagaimana PLN atau negara menanggung kerugian dari proses transisi ini,” ujarnya.

Monitoring, Evaluasi, dan Dukungan Global Menjelang COP30

Moderator Syahrani menyoroti pentingnya proses monitoring dan evaluation (M&E) untuk memastikan bahwa transisi energi benar-benar berjalan. “Bentuk transisi yang teknis dan yang dibutuhkan masyarakat itu bisa berbeda. Karena itu, peran pemerintah dalam memastikan teknologi, kapasitas, dan pendanaan yang terintegrasi menjadi kunci,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa means of implementation menjadi hal penting dalam memastikan keberlanjutan transisi energi. Menjelang pelaksanaan COP30, Syahrani juga mengangkat pertanyaan tentang bagaimana forum internasional dapat membantu Indonesia mewujudkan transisi berkeadilan yang lebih konkret.

Menanggapi hal itu, Tubagus Nugraha menyoroti dua hal penting di tingkat global: kerangka Just Transition dan pendanaan. Ia menilai perlu ada alat penilaian seperti dashboard yang dapat memetakan kelompok terdampak dan menyediakan dokumen pendukung sebagai bentuk transparansi.

“Kerangka mitigasi dan programnya perlu disusun dengan jelas. Pendanaan juga harus diperhitungkan dengan tepat, termasuk pemanfaatan digitalisasi agar bantuan dapat langsung menjangkau kelompok terdampak,” paparnya.

Grita Anindarini menambahkan bahwa diskursus Just Transition perlu diperluas agar tidak hanya berfokus pada manusia, tetapi juga pada keadilan terhadap alam. “Jangan sampai transisi justru menambah kerentanan lingkungan kita,” tegasnya.

Sementara itu, Wira Swadana menekankan bahwa Just Transition harus dikembangkan sesuai dengan konteks Indonesia, bukan hasil salinan dari negara lain. Ia juga menyebut perlunya ballot mechanism for Just Transition untuk memastikan akses pendanaan yang lebih inklusif dan partisipatif.

Penulis : Yonatan Kurniawan