Menuju COP30: Panel Discussion 2 - Peta Jalan Sektoral Menuju Net Zero Emission di Indonesia
Jakarta, 22 Oktober 2025 - Upaya Indonesia mencapai target net zero emission menjadi fokus utama dalam sesi Fireside Chat bertajuk “Peta Jalan Sektoral untuk Menyokong Pencapaian Net Zero Emission di Indonesia”.
Sesi ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Pak Irawan Asaad (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), Pak Anggri Hervani (Kementerian Pertanian), dan Pak Egi Suarga (WRI Indonesia), dengan Bu Fanni Imaniar sebagai moderator.
Pertanian di Persimpangan: Antara Korban dan Sumber Emisi
Dalam pemaparannya, Pak Anggri Hervani menekankan bahwa sektor pertanian memiliki posisi yang unik dalam konteks perubahan iklim—sekaligus menjadi korban dan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK).
“Pertanian menghadapi dampak langsung dari perubahan iklim, seperti peningkatan serangan hama dan bencana. Namun di sisi lain, sektor ini juga menjadi sumber emisi, terutama dari aktivitas budidaya dan peternakan,” jelasnya.
Menurut Pak Anggri, strategi Kementerian Pertanian saat ini meliputi pemanfaatan biogas, pengembangan varietas benih rendah emisi, dan penerapan ekonomi sirkular. Kementerian juga telah menjalin kerja sama lintas sektor dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Wahana Riset Indonesia (WRI) untuk mendukung penyusunan peta jalan penurunan emisi.
Namun demikian, Pak Anggri menyoroti keterbatasan fungsi riset di kementeriannya.
“Kami tidak memiliki mandat langsung untuk penelitian, sehingga kolaborasi dengan lembaga seperti BRIN menjadi sangat penting untuk memperkuat perhitungan emisi sektor pertanian,” ujarnya.
Keterkaitan Antar-Sektor dan Tantangan Mitigasi
Sektor pertanian, lanjutnya, menyumbang sekitar 7–9 persen dari total emisi nasional berdasarkan Laporan Biennial Transparency Report (BTR). Meski kontribusinya relatif kecil, dampak pembukaan lahan untuk ketahanan pangan tetap signifikan. Karena itu, upaya mitigasi di sektor ini harus dilihat secara holistik dan terintegrasi lintas sektor.
“Emisi pertanian sebagian besar bukan berasal dari CO₂, tetapi dari gas rumah kaca lain seperti metana (CH₄) dan dinitrogen oksida (N₂O) yang dihasilkan dari pupuk organik,” terang Pak Anggri. “Jenis emisi ini tidak bisa ditangani hanya dengan penanaman pohon, tetapi perlu intervensi langsung dalam rantai pasok (supply chain) pertanian.”
Pendekatan Mitigasi Berbasis Produksi
Lebih lanjut, Pak Anggri menjelaskan bahwa inti bisnis Kementerian Pertanian adalah produksi. Namun, banyak program peningkatan produksi yang juga memberikan co-benefit mitigasi iklim.
“Sejak 1970, kami terus merilis berbagai varietas padi. Beberapa varietas yang digunakan petani ternyata memiliki emisi metana yang lebih rendah, sehingga selain meningkatkan produksi, juga membantu menekan emisi GRK,” katanya.
Ia menambahkan bahwa upaya mencapai zero emission secara mutlak dalam waktu singkat tidak realistis, mengingat proses biologis pertanian secara alami menghasilkan emisi.
“Target kami bukan nol emisi, tapi menurunkan semaksimal mungkin dengan memanfaatkan co-benefit. Dalam dokumen Enhanced NDC (ENDC), sektor pertanian menargetkan penurunan sekitar 10 juta ton CO₂ ekuivalen, dan hingga kini sudah tercatat sekitar 63 juta ton mitigasi,” paparnya.
Selain itu, sub-sektor hortikultura juga berpotensi menyumbang mitigasi melalui tanaman berkayu seperti pohon buah yang mampu menyerap CO₂ (carbon sequestration).
Diplomasi dan Ekonomi Sirkular dalam Aksi Iklim
Menanggapi isu kerja sama internasional, Pak Egi Suarga dari WRI Indonesia menekankan pentingnya diplomasi iklim yang menonjolkan keseimbangan antara ketahanan pangan dan aksi mitigasi.
“Indonesia memiliki target ambisius dalam ketahanan pangan, namun kita perlu menunjukkan kepada dunia bahwa dampak emisinya bisa diminimalisir dengan pendekatan climate-smart agriculture dan ekonomi sirkular,” ungkapnya.
Pendekatan tersebut, lanjut Pak Egi, dapat diperkuat dengan pemanfaatan teknologi presisi dan pengembangan market assessment untuk melihat potensi pasar karbon di sektor pertanian.
“Kita perlu mencari pendanaan yang tidak hanya berfokus pada mitigasi, tetapi juga pada adaptasi. Dorongan terhadap skema seperti Adaptation Fund menjadi sangat penting untuk mendukung petani yang rentan,” pungkasnya.
Penulis: Yonatan Kurniawan
CCC ITB