Menuju COP30: Diskusi Panel 1 - Transisi Hijau Jadi Arah Pembangunan: Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Penurunan Emisi
Jakarta, 22 Oktober 2025 - Transisi hijau dan pembangunan berkelanjutan menjadi sorotan utama dalam sesi panel pertama seminar yang menghadirkan para pakar dari Bappenas, akademisi, dan lembaga penelitian. Diskusi ini menyoroti urgensi memisahkan (decoupling) antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan emisi, serta bagaimana kebijakan pembangunan dapat mengarahkan Indonesia menuju ekonomi hijau yang tangguh dan berketahanan iklim.
Moderator Bapak Ardhi Wardhana, Peneliti dari CSIS Indonesia, membuka diskusi dengan menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi sering kali diiringi dengan peningkatan emisi karbon. Oleh karena itu, aksi iklim harus menjadi prioritas dalam mencapai pembangunan yang tidak hanya menyejahterakan, tetapi juga berkelanjutan.
“Target pertumbuhan ekonomi harus selaras dengan transisi hijau,” ujarnya.
Pembangunan Rendah Karbon sebagai Jalan Menuju Ekonomi Hijau
Bapak Nizhar Marizi Marizi dari Bappenas menegaskan bahwa arah pembangunan nasional kini semakin berorientasi hijau. Dalam RPJMN, aspek lingkungan telah diperhitungkan tidak sekadar sebagai arus utama (mainstreaming), melainkan memiliki target tersendiri melalui inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (PRK).
“Ekonomi hijau adalah tujuan, dan PRK menjadi jalan untuk mencapainya,” ujar Bapak Nizhar Marizi.
Menurut beliau, pendekatan PRK memungkinkan peningkatan PDB hingga 1 persen lebih tinggi, sekaligus menurunkan emisi karbon sebesar 43 persen pada tahun 2045. Strategi ini menekankan keseimbangan antara penurunan emisi, ketahanan terhadap perubahan iklim, dan transformasi struktural seperti penerapan ekonomi sirkular dan industri hijau berbasis dekarbonisasi.
“Kami percaya pada konsep decoupling. Pertumbuhan ekonomi dan penurunan emisi dapat berjalan beriringan - dan inilah roh dari PRK di Bappenas,” tambahnya.
Dari Relative ke Absolute Decoupling
Sementara itu, Ibu Alin Halimatussadiah menjelaskan lebih lanjut konsep decoupling, yaitu bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat dilepaskan dari peningkatan emisi.
“Decoupling terbagi dua: relative dan absolute. Relative terjadi jika pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari peningkatan emisi, sedangkan absolute terjadi jika ekonomi tumbuh tetapi emisi justru turun,” jelas Ibu Alin.
Menurut beliau, beberapa negara maju seperti Inggris telah berhasil mencapai absolute decoupling, sementara banyak negara berkembang masih berada pada tahap relative decoupling.
“Indonesia realistis untuk mulai dari relative decoupling, baru kemudian berproses menuju absolute decoupling,” tambahnya.
Ibu Alin juga menyoroti tantangan struktural: ekonomi Indonesia masih bergantung pada sektor ekstraktif dan penggunaan lahan. Oleh karena itu, perlu evaluasi menyeluruh untuk mengelola sektor-sektor tersebut sekaligus membuka peluang di sektor hijau dengan dukungan insentif fiskal dan sinyal harga yang tepat.
“Jika brown sector masih lebih menguntungkan daripada green sector, maka investasi akan terus lari ke sana,” ujarnya.
Beliau juga menyoroti isu affordability energi yang jarang dibicarakan. Harga listrik yang tidak naik sejak tahun 2017 membuat teknologi energi bersih seperti panel surya menjadi kurang menarik.
“Ketika energi konvensional lebih murah, maka transisi energi sulit terjadi,” kata Ibu Alin. Ia juga menambahkan bahwa insentif bagi sektor swasta masih belum tepat sasaran.
Tantangan Struktural dan Kebijakan
Dalam pandangan Bapak Nizhar Marizi, salah satu tantangan besar dalam dekarbonisasi adalah ketergantungan terhadap sumber daya fosil.
“Kita masih tersandera oleh sistem yang berorientasi pada minyak dan batubara. Bahkan dalam pembahasan makroekonomi di Bappenas dan Kementerian Keuangan, sektor energi selalu menjadi variabel utama,” ungkapnya.
Beliau juga menyinggung kompleksitas tata kelola pemerintahan yang harus menyeimbangkan visi-misi politik dengan komitmen lingkungan. Selain itu, isu subsidi energi menjadi tantangan tersendiri.
“Kita perlu strategi bertahap untuk mengurangi subsidi energi agar transisi ke energi bersih dapat berjalan efektif,” tambahnya.
Ibu Alin menambahkan bahwa kerangka kebijakan seperti carbon tax dan Emissions Trading System (ETS) perlu diperjelas implementasinya. Menurut beliau, Perpres No. 110/2025 tentang pasar karbon membawa kemajuan baru, tetapi masih memerlukan rencana kerja yang lebih operasional.
“Carbon pricing hanya akan efektif jika harga karbon cukup tinggi dan cakupannya luas,” jelasnya.
Langkah ideal, lanjut beliau, adalah menghapus subsidi secara bertahap, menilai eksternalitas karbon, dan memberi harga yang mencerminkan biaya lingkungan sesungguhnya.
“Hanya dengan begitu sektor hijau bisa berkembang,” pungkasnya.
Kesiapan Second NDC dan Agenda Global
Terkait pembaruan komitmen iklim, Bapak Nizhar Marizi menekankan pentingnya kesinambungan antara Enhanced NDC dan Second NDC (SNDC).
“Komitmen baru di 2031–2035 harus melanjutkan upaya yang sudah dimulai, bukan meloncat tiba-tiba,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa Bappenas telah mengintegrasikan target NDC ke dalam RPJMN dan berharap hal serupa dilakukan pada periode berikutnya.
Sementara itu, Ibu Mari Elka Pangestu menyoroti kemajuan Indonesia dalam satu tahun terakhir, termasuk penerbitan Perpres 110/2025 dan penyusunan SNDC. Ia menegaskan bahwa pembangunan ekonomi yang tinggi harus tetap berlandaskan keberlanjutan.
“Negara berkembang tetap bisa tumbuh, dengan dukungan pendanaan dari negara maju untuk aksi mitigasi dan adaptasi,” ujarnya.
Ibu Mari juga menyoroti pentingnya daya saing berkelanjutan di era global. Produk-produk Indonesia kini dinilai dari aspek rantai pasok berkelanjutan (sustainability supply chain) - mulai dari energi hijau, transportasi, hingga kemasan ramah lingkungan.
“Ini bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang ekonomi baru untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja hijau,” tegasnya.
Diskusi Terbuka: Isu Land Use dan Partisipasi Masyarakat
Dalam sesi diskusi terbuka, Bapak Rizki Abdul Haris dari Pusat Studi Agraria ITB menyoroti pentingnya kebijakan just transition yang mempertimbangkan aspek sosial dan tata ruang. Ia menanyakan strategi penataan ruang untuk menekan emisi serta cara mendorong partisipasi masyarakat dalam aksi iklim.
Menanggapi hal tersebut, Bapak Nizhar Marizi menjelaskan bahwa sektor land use telah menjadi bagian dari target pengurangan emisi nasional melalui integrasi dengan kebijakan tata ruang daerah.
“Setiap rencana tata ruang harus dikonsultasikan lintas kementerian untuk memastikan keselarasan dengan target emisi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa edukasi masyarakat perlu ditingkatkan, seperti melalui program Sekolah Lapang Iklim di sektor pertanian untuk menyesuaikan pola tanam terhadap perubahan iklim.
Ibu Mari menambahkan bahwa sektor pertanian dapat menjadi motor pengurangan emisi melalui penerapan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Ia mencontohkan praktik low-carbon rice di Vietnam yang menghasilkan panen lebih tinggi dengan penggunaan air dan pupuk yang lebih sedikit.
“Pendekatan seperti ini bukan hanya menurunkan emisi, tapi juga bisa diperjualbelikan di pasar karbon,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya menjaga kearifan lokal seperti sistem Subak di Bali yang terbukti berkelanjutan dan efisien dalam pengelolaan air.
Ibu Alin menyoroti potensi co-benefit antara pengurangan emisi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
“Kita bisa mengembangkan bioekonomi dan memberi nilai tambah pada keanekaragaman hayati, termasuk peluang seperti biodiversity credit,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya desain kebijakan harga karbon yang sederhana namun kredibel, agar tidak terkesan sebagai greenwashing.
Penutup: Jalan Panjang Menuju Transisi Hijau
Diskusi ditutup dengan kesadaran bersama bahwa transisi hijau tidak bisa dicapai hanya melalui kebijakan, tetapi membutuhkan perubahan struktural dan sosial yang mendalam. Indonesia kini berada pada fase penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tidak lagi bergantung pada sektor fosil, melainkan bertumpu pada inovasi hijau, tata kelola yang adil, dan keterlibatan aktif masyarakat.
Penulis: Yonatan Kurniawan
CCC ITB